SELAMAT DATANG - SELAMAT MEMBACA - SEMOGA BERMANFAAT - TERIMAKASIH

SELAMAT DATANG - SELAMAT MEMBACA - SEMOGA BERMANFAAT - TERIMAKASIH

Minggu, 25 Oktober 2015

Makalah Ulumul Hadits

Sejarah Perkembangan Ulumul Hadits pada Periode Klasik, Pertengahan dan Modern
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada masa awal berdirinya Islam, umat Islam belum mengetahui adanya ilmu hadits atau 'ulumul hadits. Hal tersebut mungkin dikarenakan fokus perhatian umat Islam pada waktu itu masih terpecah antar dakwah, jihad dan pendalaman Al-Qur’an, sehingga perhatian terhadap hadits walaupun sudah cukup intens namun belum segencar pada masa-masa berikutnya.
Sepeninggalnya nabi Muhammad saw, banyak terjadi konflik yang memecah belah umat islam. Diantara konflik tersebut adalah konflik politik yang memunculkan sekte-sekte politik, sehingga lahirlah pula hadits-hadits palsu untuk membela sekte-sekte tersebut. Setelah bermunculan hadits-hadits palsu barulah perhatian umat Islam terhadap hadist nabi meningkat pesat, sehingga banyak dari masyarakat muslim pada saat itu yang mulai mendalami ilmu hadits. Ini ditandai dengan munculnya beberapa ulama yang mulai melakukan penghimpunan hadits serta mulai merintis ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits. Ilmu ini kemudian terus berkembang dari masa ke masa sampai pada zaman sekarang.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits pada periode klasik?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits pada periode pertengahan?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan imu hadits pada periode modern?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits pada Periode Klasik
Hadits sebagai suatu informasi, memiliki metodologi untuk menentukan keotentikan periwayatannya yang dikenal dengan 'ulumul hadits, yang merupakan bentuk manajemen informasi. Hanya saja, pada masa Rasulullah Saw sampai sebelum pembukuan ilmu hadits istilah 'ulumul hadits jelas belum ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi yang telah ada.[1]
Pada dasarnya 'ulumul hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits di dalam Islam, terutama setelah Rasululullah Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadits-hadits Rasulullah Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadits-hadits tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits, mereka mulai menggunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.[2] Pada periode ini, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah dilakukan dengan cara yang  sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadits tersebut.
Pada masa sahabat yang dimulai dari khalifah  Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi Saw. Adapun perhatian sahabat dan khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
1.         Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping Al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
2.         Para sahabat berusaha menyampaikan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali dan hanya disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
1.         Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Rasulullah Saw yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.         Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi Saw.
Pada masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami persoalan-persoalan, diantaranya murtadnya orang-orang sepeninggalan Nabi Saw. Oleh karena itu, para sahabat berhati-hati dalam meriwayatkan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
1.         Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
2.         Menyaring penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
3.         Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat dipahami sacara umum.
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun matan hadits semakin ditonjolkan, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadits, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadits, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang dibawanya.
Perinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab, Al-Hasan Al-bashri, Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi dan Muhammad bin Sirin.
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama berikutnya.   
Kemudian muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah, yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu hadits menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani, yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad, beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’.
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan[3]
B.     Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits pada Periode Pertengahan
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddimah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadis yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi, yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadis.
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi, juga menulis kitab tentang ilmu hadis dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadis yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi.  Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari.[4]
C.     Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits pada Periode Modern
Perkembangan ilmu hadits abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadits dari ulama muhaditsin adalah Asy-Syaikh Thahir Al-Jaziry  dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadits dan As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy dengan kitabnya Qawaidut Tahdits fi Fununil Hadits, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya.
Ulama kontemporer yang masih bergelut membahas dan mendalami ilmu hadits adalah Dr. Mahmud At-Thahhan dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalah Al-Hadits.
Demikianlah perkembangan ilmu hadits yang mengalami kemajuan dari waktu kewaktu untuk menjadi sebuah ilmu yang sempurna.[5]
Dan di antara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
1.      Mengurangi periwayatan hadis
Mereka khawatir dengan banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW. Selain itu mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan menyibukkan umat Islam terhadap as-Sunnah dan mengabaikan Al-Quran
2.      Ketelitian dalam periwayatan
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadis tanpa adanya perawi yang benar-benar dapat dipercaya, karena mereka sangat takut terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi SAW.
3.      Kritik terhadap riwayat
Adapun bentuk kritik terhadap riwayat adalah dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat dengan Al-Qur’an, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Ketelitian dan sikap hati-hati para Sahabat Nabi SAW tersebut diikuti pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadis-hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad Hadis dengan mempraktikkan ilmu al-jarah wa al-ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan berkembang.[6]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sejarah perkembangan ilmu hadits pada periode klasik hingga periode modern terus mengalami kemajuan.
B.     Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah masih banyak kesalahan, oleh karena itu kritik yang membangun sangat diharapkan.
Daftar Pustaka
Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Hadist. Bandung: Tafakur
Wahid, Ramly Abdu. 2005l. Studi Ilmu Hadist. Bandung: Cita Pustaka Media
https://www.academia.edu/5727527/Ilmu_Hadis_Sejarah_dan_Perkembangannya, diakses pada Senen, 19:55, 23-03-2015
http://nurhasn9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html?m=1, diakses pada Senen, 20:10, 23-032015


1 Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, Studi Ilmu Hadist, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005), hlm. 52.
[2] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Ulumul Hadist, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 102.

[3] http://nurhasn9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html?m=1
[4] https://www.academia.edu/5727527/Ilmu_Hadis_Sejarah_dan_Perkembangannya
[5] http://nurhasn9.blogspot.com/2013/01/sejarah-perkembangan-ilmu-hadits.html?m=1
[6] https://www.academia.edu/5727527/Ilmu_Hadis_Sejarah_dan_Perkembangannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar