Hadits-hadits Tentang Shalat
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam merupakan agama rahmatan
lil’alamin yang mengatur baik segala urusan dunia maupun urusan akhirat.
Dalam urusan dunia, Allah telah memerintahkan kepada hambanya agar dapat
memposisikan diri baik dalam bermasyarakat ataupun dalam berhubungan dengan
makhluk Allah yang lainnya. Ini merupakan sebuah tuntutan yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi
wa sallam untuk disampaikan kepada umatnya. Yang demikian dapat juga kita
katakana sebagai hubungan vertikal.
Dalam agama Islam pun
juga mengatur urusan akhirat yakni, mengatur hubungan manusia atau makhluk
lainnya dengan Allah Subhaanahu wa
ta’aalaa. Mengenai urusan akhirat banyak sekali macam dan cara mendekatkan
diri kepada Allah Subhaanahu wa ta’aalaa.
Sebagaimana syari’at-syari’at yang telah diturunkan kepada orang muslim,
diantara perintah Allah Subhaanahu wa
ta’aalaa adalah sebagaimana yang terbilang dalam rukun Islam. Beberapa
hadits menyebutkan penjelasan mengenai rukun islam, namun pada pembahasan kali
ini kami akan membahas beberapa hadits dari salah satu rukun islam, yaitu shalat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Beberapa hadits tentang sholat
2.
Kualitas periwayatan hadits tentang
sholat
3.
Kandungan hadits tentang sholat
4.
Analisis hukum para fuqoha
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Tentang Sholat (I)
1.
Hadits
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ اانَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ
إِلاَّ النَّسَائِيَّ وَ صَحَّحَهُ اْبنُ خُزَيْمَةَ
Artinya: Dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwasannya Nabi Muhammad Shollallahu
Alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seorang wanita
yang telah haid kecuali jika ia mengenakan kerudung.” (HR. Al-Khamsah kecuali
An-nasa’i, dan Ibnu Khuzaimah menshahihkannya).[1]
2.
Kualitas Periwayatan Hadits
Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Achmad dan Al-Hakim, sedangkan Ad-Daruquthni
menganggapnya cacat, ia berkata, “Statusnya sebagai hadits mauquf lebih mendekati kebenaran.” Adapun
Al-Hakim, Ia melihatnya cacat dari segi kemursalan hadits ini.
3.
Kandungan Hadits
Kandungan dari
hadits ini adalah bahwa sanaya Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada
perempuan-perempuan muslim yang sudah mengalami haidh (yang sudah baligh) agar
mereka mengenakan kerudung atau sesuatu yang menutupi tubuhnya (auratnya)
ketika hendak menunaikan salat dan apabila mereka tidak mengenakan kerudung
maka niscaya mereka solatnya tertolak atau tidak sah.
4.
Analisis Hukum
Jika kita melihat kandungan dari hadits
tersebut secara khusus maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwasannya orang
muslim yang hendak menunaikan sholat diwajibkan untuk menutup aurat. Jadi
intinya hukum menutup aurat ketika menunaikan sholat adalah wajib.
B. Hadits TentangSholat (II)
1. Hadist
عَنْ مُطَرِّفٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الشِّخِّيْرِ
عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
وَفِي صَدْرِهِ أزِيْز كَأَزِيْزِ اْلمِرْجَلِ مِنَ اْلبُكاَءِ. أخْرَجَهُ اْلخَمْسَةُ
إِلاَّ ابْنَ مَاجَه وَ صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.
Artinya: Dari
Mutharrif ibn Abdullah ibnu al-Syikhkhir dari ayahnya, beliau berkata: “Saya
pernah melihat Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam sedang shalat dan
di dadanya terdengar suara seperti suara air yang mendidih kerana mereka.”
(Diriwayatkan oleh al-Khamsah, kecuali Ibn Majah dan dinilai sahih oleh Ibn
Hibban)
2. Kualitas
Periwayatan Hadits
Mutharrif ibn Abdullah ibn al-Syikhkhir al Amiri al-Kharsyi, nama
panggilannya Abu Abdullah al-Bashri, salah seorang tabiin termuka. Beliau
meriwayatkan hadits dari ayahnya, dan ayahnya meriwayatkan dari Ali bin Abu
Thalib dan Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu anhuma.
Ibn Saad berkata: “Mutharrif adalah seorang tsiqah yang memiliki keutamaan
dan bersifat wara’. Beliau meninggal dunia pada tahun 95 Hijriah.
3. Kandungan Hadist
Hadits kedua menjelaskan
bahwasannya Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi wa Sallam dalam shalatnya
selalu merasa takut kepada Allah, sehingga air matanya mengalir disertai dengan
suara tangisan dan sesak dadanya. Jika membaca ayat rahmat maka beliau gembira,
tetapi apabila beliau membaca ayat adzab maka bergetar hati Beliau karena takut
kepada Allah.
4. Analisis Hukum
Menangis dalam solat kerana merasa takut kepada Allah tidak membatalkan
solat di sisi jumhur ulama. Imam al-Syafi‟i berkata: “Jika keluar dari tangisan
itu dua huruf, maka ia membatalkan solat secara mutlak, sama ada disebabkan
rasa takut kepada Allah ataupun sebaliknya.”
Ulama berbeda pendapat
mengenai tangisan yang bukan kerana takut kepada Allah. Imam Malik berkata:
“Jika tangisannya tidak bersuara, maka itu di-maafkan. Jika bersuara, maka
hukumnya itu sama dengan bercakap-cakap di dalam solat. Jika dilakukan dengan
sengaja, maka batal solatnya, sama ada sedikit ataupun banyak. Jika dilakukan
kerana lupa dan itu dilakukan dengan banyak, maka ia membatalkan solat, tetapi
jika tangisan yang sedikit, maka itu tidak membatalkan solat.”
Imam Ahmad berkata: “Jika dari tangisan itu keluar dua huruf, maka ia
membatalkan solat selagi bukan kerana tidak tertahankan, tetapi jika tidak
dapat mengawal lagi tangisannya hingga keluar daripadanya dua huruf, maka
solatnya tidak batal.”
Imam Abu Hanifah berkata: “Jika menangis kerana sakit atau musibah, maka
solatnya batal, kerana itu bererti mengungkap perasaan kesal, gundah gulana dan
tidak redha dengan apa yang telah ditakdirkan Allah ke atas dirinya.”[2]
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan Hukum
Hadist pertama
menjelaskan bawasannya seorang muslim dan muslimah ketika menunaikan ibadah
shalat diwajibkan bagi kita untuk menutup aurat, karena menutup aurat adalah
salah satu dari syarat sah shalat, jadi apabila kita shalat tetapi tidak
menutup aurat maka shalat kita tidak sah.
Hadist kedua diterangkan
jika kita menagis ketika shalat dikarenakan takut kepada Allah , dan
tangisan tersebut tidak mengganggu shalat kita baik lafad maupun gerakan maka
para jumhur ulama’ mengganggap shalat itu tetap sah. Tetapi jika kita menangis
dalam shalat di sebabkan oleh selain Allah maka menurut imam abu hanafi shalat
tersebut batal.
2.
Kritik dan Saran.
Dalam penulisan makalah masih banyak kesalahan,
oleh karena itu kritik yang membangun sangat diharapkan.
Daftar Pustaka
Ash-Shan’ani,
Muhammad bin Ismail Al-Amir, Subulus
Salam – Syarah Bulughul Maram (terj), Jakarta: Darus Sunnah, 2007.
Fauzi, Nor Hasanuddin H.M., Ibanah al-ahkam syarah Bulughul Mahram, Kuala Lumpur: Al-Hidayah Publication, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar