SELAMAT DATANG - SELAMAT MEMBACA - SEMOGA BERMANFAAT - TERIMAKASIH

SELAMAT DATANG - SELAMAT MEMBACA - SEMOGA BERMANFAAT - TERIMAKASIH

Selasa, 20 Oktober 2015

Makalah Hukum Perdata





Hukum Pembuktian
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Soal pembuktian sebenarnya termasuk dalam hukum acara, tetapi pembuat undang-undang pada waktu BW dibuat mempunyai pendapat bahwa pembuktian termasuk pada hukum acara materil, sehingga dapat dimasukkan ke dalam hukum perdata materil. Dalam pemeriksaan perkara perdata hal-hal yang dibantah oleh pihak lawan sajalah yang harus dibuktikan.[1]
Dalam bahasan makalah ini kami akan menitik beratkan kepada masalah pembuktian di dalam hukum perdata. Dalam perkara perdata hal-hal yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hokum acara perdata, yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak perlu dibuktikan.
Jadi kalau dalam perkara perdata itu, kalau pihak lawan menyangkal maka dibutuhkan suatu pembuktian. Tapi kalau pihak lawan mengakui maka tidak butuh suatu  pembuktian.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian hukum pembuktian?
2.     Apa arti dan sifat dari pembuktian perdata?
3.    Apa teori pembuktian perdata?
4.    Apa saja alat-alat pembuktian perdata?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Menurut hemat penulis,yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata,acara pidana, maupun acara-acara yang lainnya, dimana dengan mengunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang disengketakandi pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang yang dinyatakan itu.[2]
B.     Arti dan Sifat dari Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.[3]
Pembuktian dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif, dimana di cari oleh hakim adalah kebenaran formal. Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan.[4]
C.     Teori Pembuktian Perdata
Teori hukum  pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2.    Alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya, tidak palsu)
3.    Alat  bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4.    Alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa teori pembuktian yang dikenal, yaitu:
1.    Teori hukum subyektif ( teori hak )
Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2.    Teori hokum Obyektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hokum atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3.    Teori hokum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.[5]
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim.
D.    Alat-Alat Pembuktian Perdata
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg terdiri dari:
- Bukti Tulisan
- Bukti dengan saksi-saksi
- Persangkaan-persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah[6]
1.    Bukti Tulisan atau Surat
Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas keperdataan. Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu perjanjian dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian hari terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian tersebut.
Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata. Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari:
a.    Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak setiap surat dapat dikatakan sebagai akta.
Adanya tanda tangan dalam suatu akta adalah perlu untuk identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta yang satu dengan akta yang lainnya. Dan dengan penandatanganan itu seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Yang dimaksud dengan penandatanganan ialah membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi sesuatu surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau cap jempol dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak yang berwenang dikenal dengan waarmerking.
b.    Tulisan bukan akta
Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.
2.    Bukti dengan Saksi-Saksi
Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acara perdata alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal 179 RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902 sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai kesaksian, diantaranya:
a.    Menurut A. Pitlo, kesaksian hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh saksi dengan pancainderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan cara yang demikian. 
b.    Menurut S. M. Amin, kesaksian hanya gambaran dari apa-apa yang telah dilihat, didengar dan dialaminya, keterangan-keterangan ini semata-mata bersifat obyektif.[7]
c.       Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salahsatu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.[8]
Pembuktian dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang menentukan lain. Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di antara para persero firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris ( Pasal 22 KUHD ), mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat dibuktikan dengan polis ( Pasal 258 KUHD).
Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata.
Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah :
a.    Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak;
b.    Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c.    Anak-anak yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d.    Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Adapun alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai saksi adalah:
a.    Mereka pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai saksi
b.    Untuk menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila mereka memberikan kesaksian;
c.    Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan kesaksian.
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan. Orang-orang yang dapat meminta dibebaskan memberi kesaksian adalah:
a.    Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
b.    Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak
c.    Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu, misalnya dokter, advokat dan notaris.
3.    Persangkaan-Persangkaan
Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan perceraian yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali untuk mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk membuktikan peristiwa perzinahan hakim harus menggunakan alat bukti persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.[9]
4.    Pengakuan
Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai defenisi pengakuan:
a.    Menurut A. Pitlo,
“ pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan pihak lawan. “[10]
b.      Menurut S. M. Amin,
“ pengakuan adalah suatu pernyataan tegas oleh seorang di muka sidang pengadilan, yang membenarkan seluruh dakwaan ( dalil ) lawan, atau hanya satu atau lebih daripada satu hak-hak atau hubungan yang didakwakan ( didalilkan ), atau hanya salah satu atau lebih daripada satu hal-hal yang didakwakan ( didalilkan ). “
c.       Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. “[11]
Jadi, pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
Pengakuan dapat terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang terjadi di dalam sidang pengadilan ( Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 1925, Pasal 1926 KUHPerdata ), pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim dalam persidangan, pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti bahwa pengakuan tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.
Sedangkan, pengakuan yang terjadi di luar persidangan ( Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 1927 dan 1928 KUHPerdata ), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.
5.    Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan pengertiannya, yaitu antara lain:
a.    Menurut A. Pitlo,
“ Sumpah adalah hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan. “[12]
b.    Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. “[13]
c.    Menurut M. H. Tirtaamidjaja,
“ Sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan. “ [14]
Dalam hukum acara perdata, alat bukti sumpah ada dua macam, yaitu:
a.       Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus.
b.      Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak, yakni:
1)   sumpah penambah/pelengkap dan
2)   sumpah penaksir
Kedua macam sumpah tersebut bermaksud untuk menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal 314 RBg/177 HIR menyatakan bahwa apabila salah satu pihak telah mengucapkan sumpah baik dalam sumpah penambah atau sumpah pemutus, terhadap pihak tersebut tidak boleh diminta alat bukti lain untuk menguatkan sumpah yang telah diucapkan. Sehubungan dengan hal itu, praktik alat bukti sumpah baru dapat dilakukan apabila kedua belah pihak atau hakim telah putus asa dalam mencari alat-alat bukti lain untuk meneguhkan keterangan-keterangan kedua belah pihak.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hukum pembuktian merupakan bagian dari hukum perdata. Pembuktian dalam hukum perdata berlaku sistem pembuktian positif, dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan.
Dalam perkara hukum perdata hal-hal yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hukum acara perdata, yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak memerlukan pembuktian.
B.     Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah masih banyak kesalahan, oleh karena itu kritik yang membangun sangat diharapkan.
Daftar Pustaka
Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Pitlo, A, Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.), Jakarta: PT. Intermasa, 1978.
S, Retnowulan dan O, Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 2005.
Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Penerbit Alumni, 1992.
Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung: CV Mandar Maju, 2005.
Soetami, A. Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
Subekti, R dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008.


[1] A.Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2007, hlm, 37.
[2] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm, 1-2.
[3] Retnowulan S dan Iskandar  O, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 2005, hlm, 53.
[4] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm, 3.
[5] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung: CV Mandar Maju, 2005, hlm, 21.
[6] R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008, hlm, 473.
[7] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung: CV Mandar Maju, 2005, hlm, 60.
[8] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm, 51.
[9] Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek , Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005, hlm, 68.
[10] A. Pitlo., Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.), Jakarta: PT. Intermasa, 1978, hlm, 150.
[11] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung: CV Mandar Maju, 2005, hlm, 102.
[12] A. Pitlo., Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.), Jakarta: PT. Intermasa, 1978, hlm, 172.
[13] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Penerbit Alumni, 1992, hlm, 95.
[14] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung : CV Mandar Maju, 2005, hlm, 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar