Hukum
Pembuktian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Soal pembuktian sebenarnya termasuk
dalam hukum
acara, tetapi pembuat undang-undang pada waktu BW dibuat mempunyai pendapat bahwa
pembuktian termasuk pada hukum acara materil, sehingga dapat dimasukkan ke
dalam hukum perdata materil. Dalam
pemeriksaan perkara perdata hal-hal yang dibantah oleh pihak lawan sajalah yang
harus dibuktikan.[1]
Dalam bahasan makalah ini kami akan
menitik beratkan kepada masalah pembuktian di dalam hukum perdata. Dalam perkara perdata
hal-hal yang harus dibuktikan dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal
oleh pihak lawan. Hal ini berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hokum acara
perdata, yaitu kebenaran formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak perlu
dibuktikan.
Jadi kalau dalam perkara perdata
itu, kalau pihak lawan menyangkal maka dibutuhkan suatu pembuktian. Tapi kalau
pihak lawan mengakui maka tidak butuh suatu
pembuktian.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hukum pembuktian?
2.
Apa arti dan sifat dari pembuktian
perdata?
3.
Apa teori pembuktian perdata?
4.
Apa saja alat-alat pembuktian perdata?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian adalah seperangkat
kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Menurut hemat penulis,yang
dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam
acara perdata,acara pidana, maupun acara-acara yang lainnya, dimana dengan
mengunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus,
untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau
pernyataan yang disengketakandi pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh
salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang yang
dinyatakan itu.[2]
B. Arti dan Sifat dari Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan
kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan
dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak,
sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil
yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil
yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak
perlu dibuktikan lagi.[3]
Pembuktian
dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif, dimana di cari
oleh hakim adalah kebenaran formal. Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi
secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam
sistem pembuktian perdata tidak berperan.[4]
C.
Teori Pembuktian Perdata
Teori
hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar
suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan
beberapa syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2.
Alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya, tidak palsu)
3.
Alat bukti tersebut memang
diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4.
Alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Dalam hukum
acara perdata, terdapat beberapa teori pembuktian yang dikenal, yaitu:
1.
Teori hukum subyektif ( teori hak )
Dalam teori
ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka
yang bersangkutan harus membuktikannya.
2.
Teori hokum Obyektif
Teori ini mengajarkan
bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hokum atas fakta-fakta untuk
menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3.
Teori hokum acara dan teori kelayakan
Kedua teori
ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan
membagi beban pembuktian.[5]
Asas audi et alteram
partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka
hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus
membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan
demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan
adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang
tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai
pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan
penilaian suatu kenyataan adalah hakim.
D. Alat-Alat Pembuktian Perdata
Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata
diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR/Pasal
284 RBg terdiri dari:
- Bukti Tulisan
- Bukti dengan saksi-saksi
- Persangkaan-persangkaan
- Pengakuan
- Sumpah[6]
1. Bukti
Tulisan atau Surat
Bukti
tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas
keperdataan. Pada masa sekarang ini, orang-orang yang terlibat dalam suatu
perjanjian dengan sengaja membuat atau menyediakan alat-alat bukti dalam bentuk
tulisan, dengan maksud bahwa bukti-bukti tersebut dapat dipergunakan dikemudian
hari terutama apabila timbul suatu perselisihan sehubungan dengan perjanjian
tersebut.
Dalam hukum acara perdata alat bukti
tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai
dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan
Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata. Alat pembuktian tertulis dapat
dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan
lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat
bukti tulisan terdiri dari:
a.
Akta
Yang dimaksud dengan akta adalah
suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu
peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang
penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk
membuatnya sebagai suatu bukti tulisan untuk dipergunakan oleh orang untuk
keperluan siapa surat itu dibuat, dan harus ditandatangani. Maka tidak setiap
surat dapat dikatakan sebagai akta.
Adanya tanda tangan dalam suatu akta
adalah perlu untuk identifikasi yaitu menentukan ciri-ciri atau membedakan akta
yang satu dengan akta yang lainnya. Dan dengan penandatanganan itu seseorang
dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Yang dimaksud dengan penandatanganan
ialah membubuhkan suatu tanda dari tulisan tangan yang merupakan spesialisasi
sesuatu surat atas nama si pembuat. Penandatanganan ini harus dilakukan sendiri
oleh yang bersangkutan dan atas kehendaknya sendiri. Sidik jari, cap jari atau
cap jempol dianggap identik dengan tanda tangan, asal dikuatkan dengan suatu
keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh undang-undang. Pengesahan sidik jari atau cap jempol oleh pihak
yang berwenang dikenal dengan waarmerking.
b.
Tulisan bukan akta
Tulisan
bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan
atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan,
tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.
2. Bukti dengan Saksi-Saksi
Pembuktian
dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acara perdata
alat bukti saksi diatur dalam Pasal 165 RBg/139 HIR sampai dengan Pasal 179
RBg/152 HIR tentang pemeriksaan saksi, Pasal 306 RBg/169 HIR sampai dengan
Pasal 309 RBg/172 HIR tentang keterangan saksi, serta dalam Pasal 1895, Pasal 1902
sampai dengan Pasal 1912 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai
kesaksian, diantaranya:
a.
Menurut A.
Pitlo, kesaksian hanya boleh berisikan apa yang dilihat oleh saksi dengan
pancainderanya dan tentang apa yang dapat diketahui sendiri dengan cara yang
demikian.
b.
Menurut S.
M. Amin, kesaksian hanya gambaran dari apa-apa yang telah dilihat, didengar dan
dialaminya, keterangan-keterangan ini semata-mata bersifat obyektif.[7]
c.
Menurut
Sudikno Mertokusumo, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salahsatu pihak dalam perkara,
yang dipanggil di persidangan.[8]
Pembuktian
dengan alat bukti saksi diperbolehkan dalam segala hal, ini diatur dalam Pasal
165 RBg/139 HIR dan Pasal 1895 KUHPerdata, kecuali bila undang-undang
menentukan lain. Misalnya, mengenai perjanjian pendirian perseroan firma di
antara para persero firma itu sendiri yang harus dibuktikan dengan akta notaris
( Pasal 22 KUHD ), mengenai perjanjian pertanggungan/asuransi hanya dapat
dibuktikan dengan polis ( Pasal 258 KUHD).
Hakim
karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh
pihak-pihak yang berperkara. Namun demikian, ada beberapa orang yang tidak
dapat didengar sebagai saksi dan yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 172 RBg/145 HIR, Pasal 174 RBg/146 HIR, serta
Pasal 1909 dan Pasal 1910 KUHPerdata.
Orang-orang yang tidak dapat
didengar sebagai saksi adalah :
a.
Keluarga
sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu
pihak;
b.
Suami atau
istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai;
c.
Anak-anak
yang belum berusia 15 ( lima belas ) tahun;
d.
Orang-orang
gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Adapun
alasan pembentuk undang-undang menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai
saksi adalah:
a.
Mereka
pada umumnya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai saksi
b.
Untuk
menjamin hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila
mereka memberikan kesaksian;
c.
Untuk
mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan kesaksian.
Keluarga
sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam
perkara tentang perjanjian pekerjaan. Orang-orang yang dapat meminta dibebaskan
memberi kesaksian adalah:
a.
Saudara
laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
b.
Keluarga
sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan perempuan dari suami/istri
dari salah satu pihak
c.
Orang yang
karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan
rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal itu saja yang dipercayakan karena
martabat, pekerjaan dan jabatannya itu, misalnya dokter, advokat dan notaris.
3. Persangkaan-Persangkaan
Alat
bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR dan Pasal 1915 sampai
dengan Pasal 1922 KUHPerdata. Pembuktian dengan persangkaan dilakukan bila
terdapat kesukaran untuk mendapatkan saksi-saksi yang melihat atau mengalami
sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Misalnya, dalam perkara gugatan
perceraian yang didasarkan pada perzinahan sangat sulit sekali untuk
mendapatkan saksi yang telah melihat sendiri perbuatan tersebut. Maka untuk
membuktikan peristiwa perzinahan hakim harus menggunakan alat bukti
persangkaan.
Persangkaan
adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap
terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum
terbukti. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan
tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan
tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.[9]
4. Pengakuan
Pengakuan
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR,
Pasal 313 RBg/176 HIR serta Pasal 1923 sampai dengan Pasal 1928 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai
defenisi pengakuan:
a. Menurut A. Pitlo,
“ pengakuan adalah keterangan sepihak
dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan pihak
lawan. “[10]
b.
Menurut S.
M. Amin,
“ pengakuan adalah suatu pernyataan
tegas oleh seorang di muka sidang pengadilan, yang membenarkan seluruh dakwaan
( dalil ) lawan, atau hanya satu atau lebih daripada satu hak-hak atau hubungan
yang didakwakan ( didalilkan ), atau hanya salah satu atau lebih daripada satu
hal-hal yang didakwakan ( didalilkan ). “
c.
Menurut
Sudikno Mertokusumo,
“ pengakuan di muka hakim di
persidangan merupakan keterangan sepihak baik tertulis maupun lisan yang tegas
dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang
membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan pemeriksaan lebih
lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. “[11]
Jadi,
pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam
perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa,
hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain.
Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak
atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
Pengakuan
dapat terjadi di dalam dan di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang terjadi di
dalam sidang pengadilan ( Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 1925, Pasal 1926
KUHPerdata ), pengakuan yang dilakukan salah satu pihak di depan hakim dalam
persidangan, pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali terbukti bahwa
pengakuan tersebut adalah akibat dari suatu kekeliruan mengenai hal-hal yang
terjadi.
Sedangkan,
pengakuan yang terjadi di luar persidangan ( Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 1927
dan 1928 KUHPerdata ), merupakan keterangan yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh pihak lawan. Pengakuan di luar
persidangan dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan.
5. Sumpah
Alat
bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155
sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR, Pasal 1929 sampai
dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Walaupun
undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan
pengertiannya, yaitu antara lain:
a. Menurut A. Pitlo,
“ Sumpah adalah hal menguatkan suatu
keterangan dengan berseru kepada Tuhan. “[12]
b. Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ Sumpah pada umumnya adalah suatu
pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji
atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan
percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan
dihukum oleh-Nya. “[13]
c. Menurut M. H. Tirtaamidjaja,
“ Sumpah adalah suatu keterangan
yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu
memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan. “ [14]
Dalam hukum acara perdata, alat bukti sumpah ada dua macam,
yaitu:
a. Sumpah oleh salah satu pihak memerintahkan kepada pihak
lawan untuk menggantungkan putusan perkara kepadanya, yakni sumpah pemutus.
b. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan
kepada salah satu pihak, yakni:
1)
sumpah
penambah/pelengkap dan
2)
sumpah
penaksir
Kedua
macam sumpah tersebut bermaksud untuk menyelesaikan perkara, maka dalam Pasal
314 RBg/177 HIR menyatakan bahwa apabila salah satu pihak telah mengucapkan sumpah
baik dalam sumpah penambah atau sumpah pemutus, terhadap pihak tersebut tidak
boleh diminta alat bukti lain untuk menguatkan sumpah yang telah diucapkan.
Sehubungan dengan hal itu, praktik alat bukti sumpah baru dapat dilakukan
apabila kedua belah pihak atau hakim telah putus asa dalam mencari alat-alat
bukti lain untuk meneguhkan keterangan-keterangan kedua belah pihak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
pembuktian merupakan bagian dari hukum perdata. Pembuktian
dalam hukum perdata berlaku sistem pembuktian positif, dimana yang dicari oleh
hakim adalah kebenaran formil. Sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara
hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem
pembuktian perdata tidak berperan.
Dalam perkara hukum perdata hal-hal yang harus dibuktikan
dimuka pengadilan hanyalah hal-hal yang disangkal oleh pihak lawan. Hal ini
berkaitan dengan ajaran yang dianut dalam hukum acara perdata, yaitu kebenaran
formil, jadi hal-hal yang sudah diakui tidak memerlukan pembuktian.
B.
Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah masih banyak
kesalahan, oleh karena itu kritik yang membangun sangat diharapkan.
Daftar Pustaka
Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2006.
Pitlo, A, Pembuktian dan Daluwarsa ( terj.), Jakarta: PT. Intermasa, 1978.
S, Retnowulan dan O, Iskandar, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 2005.
Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam
Acara Perdata, Bandung: Penerbit Alumni, 1992.
Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi,
Bandung: CV Mandar
Maju, 2005.
Soetami, A. Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
Subekti, R dan
Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008.
[1] A.Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung:
PT Refika Aditama, 2007, hlm, 37.
[2] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata),
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm, 1-2.
[3] Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum
Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV Mandar Maju, 2005, hlm,
53.
[4] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (pidana dan perdata), Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, hlm, 3.
[5] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa & Praktisi,
Bandung: CV Mandar
Maju, 2005, hlm, 21.
[6] R Subekti
dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008, hlm, 473.
[7] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata
untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung: CV Mandar Maju, 2005, hlm, 60.
[9] Retnowulan S dan Iskandar O,
Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan
Praktek , Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005, hlm, 68.
[11] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata
untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung: CV Mandar Maju, 2005, hlm, 102.
[14] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata
untuk Mahasiswa & Praktisi, Bandung : CV Mandar Maju, 2005, hlm, 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar